Rabu, 17 Juni 2015

Ketum PSSI : Ayo Buktikan Pengaturan Skor Timnas U-23, Jangan Malah Menjadi Fitnah

Disaat kegagalan Indonesia di ajang SEA Games 2015 terjadi di semua cabang olahraga secara keseluruhan, kabar baru malah muncul di dunia sepak bola Indonesia. 

 Ya, Timnas U-23 diduga oleh beberapa pihak terlibat pengaturan skor saat berlaga di SEA Games 2015, beberapa waktu lalu. Presiden PSSI, La Nyalla Mahmud Mattalitti menegaskan tuduhan match fixing yang diarahkan ke Timnas U-23 itu sangat tidak benar dan tidak boleh sembarangan.

Apalagi sejak awal PSSI memerangi segala jenis Match Fixing. La Nyalla juga meminta tuduhan tersebut supaya dibuktikan agar tak jadi fitnah."Kami tidak mau hanya sekedar dugaan karena bisa disebut sebagai fitnah. Terkait tuduhan ada match Fixing yg membawa nama timnas U-23 di SEA Games 2015, saya minta dibuktikan, jangan hanya main fitnah,"kata La Nyalla.


"Ayo buktikan, jangan asal ngomong saja. Silahkan dilaporkan kepada pihak berwajib. Jangan fitnah atau hanya pengalihan isu kegagalan di SEA Games. Soal rekaman, semua orang juga bisa buat rekaman. Hanya modal rekaman suara dijadikan alat bukti, bisa kok. Jadi jangan sembarangan menuduh," tegas La Nyalla.

La Nyalla membeberkan dengan adanya tuduhan ini membuat mental pemain Timnas U-23 down. "Meski gagal mendapat medali, PSSI tetap hargai perjuangan keras para pemain. Jangan sakiti perasaan pemain dengan tuduhan ini. Anak-anak berjuang untuk Indonesia," tutup La Nyalla.

indopos

Konsultansi Syariah : Islam Nusantara, Proyek Liberal

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Akhir-akhir ini banyak yang membahas tentang islam nusantara, apakah itu islam nusantara?
Istilah islam nusantara, menjadi isu yang mulai ramai dibicarakan. Sejalan dengan peran para budayawan dan orang-orang liberal di Indonesia. Dan nampaknya ini hendak dijadikan sebagai gerakan. Di UIN jakarta sendiri telah diselenggarakan festival budaya islam nusantara. Bahkan ada yang mengatakan, fenomena membaca al-Quran dengan langgam jawa, merupakan bagian dari proyek islam nusantara itu.
Mengingat ini istilah yang asing bagi masyarakat, kita perlu tahu, sebenarnya apa maksud mereka dengan istilah islam nusantara itu. Apakah maksudnya agama islam yang dibongkar pasang, diganti sana-sini, sehingga menjadi agama sendiri yang berbeda sama sekali dengan ajaran islam Nabi Muhammad? Seperti halnya istilah ‘kristen jawa’ yang berbeda sama sekali dengan ajaran kristen lainnya. Atau islam seperti apa?
Di sana ada sebuah tulisan, yang dirilis oleh web Fakultas Adab & Humaniora UIN jakarta. Dalam tulisan itu, dikutip definisi istilah ‘islam nusantara’ menurut Azyumardi Azra. Dia mengatakan,

“Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global.
Yah… anda boleh baca sambil tutup mata sebelah. Paham gak paham, anggap saja paham. Ini bahasa ‘wong pinter’ gaya masyarakat UIN. Kepentingan kita, keterangan Pak Azra dijadikan sebagai acuan. Karena beliau bagian dari pelaksana inti proyek islam nusantara itu.
Kita bisa perhatikan, definisi islam nusantara menurut Pak Azra di bagian pertama,
Islam Nusantara adalah Islam distingtif, artinya islam yang unik. Tentu saja memiliki ciri membedakannya dengan lainnya.
Sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi (disesuaikan keadaan pribumi) dan vernakularisasi (disesuaikan kedaerahan) Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.
Dari pengertian Pak Azra, berarti islam ada dua:
(1) islam universal dan
(2) islam yang sudah mengalami penyesuaian dengan budaya dan realitas sosial. Yang mereka istilahkan dengan islam nusantara itu.
Jika yang dimaksud islam universal adalah islam ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang itu diterima oleh seluruh dunia, berarti islam nusantara yang menjadi gagasan para tokoh uin itu, berbeda dengan islam ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya, Pak Azra mengaku bahwa islam nusantara yang dia maksud, penyatuan kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali. Tentu saja, ini terlalu berlebihan. Anggap saja, masalah tata cara membaca al-Quran masuk dalam kajian fiqh, pernahkah ada fatwa dalam fiqh syafii yang membolehkan membaca al-Quran dengan lagu macapat?
Lebih dari itu, sebenarnya UIN jakarta, sangat terengaruh dengan pemikiran pemikian liberal Harun Nasution. Posisi Pak Harun yang dianggap pencetus pemikiran islam baru, sangat menentang kalam Asy’ari. Karena yang ingin dia kembangkan adalah pemikiran mu’tazilah. Pak Harun sendiri pernah menyatakan, “Bila umat Islam ingin maju, maka kita harus menggantikan paham Asy’ariyah yang telah mendarah daging menjadi paham Mu’tazilah.” (Teologi Pembaruan, Fauzan S, 2004, hlm. 264)
Karena itulah, Pak Harun dikenal pencetus Neo-Mu’tazilah di Indonesia.
Ketika uin jakarta mengaku mengembangkan ajaran ilmu kalam asy’ari, jelas ini terlalu jauh. Hakekatnya, mereka sedang mengembangkan pemikiran mu’tazilah.

Memecah Belah Umat

Kita tinggalkan kajian masalah definisi di atas.
Karena jika kita perhatikan, pemikiran ini jelas hendak merusak islam besar-besaran. Dan tidak jauh jika kita katakan, memecah belah kaum muslimin.
Budaya di nusantara bagi Indonesia, sangat beragam. Aceh jauh berbeda dengan jawa. Kalimantan, jauh beda dengan Papua. Ketika islam nusantara dipahami sebagai islam hasil akulturasi budaya lokal, apa yang bisa anda bayangkan ketika islam ini disinkronkan dengan budaya papua. Sehingga tercipta sebuah desain pakaian muslim, hasil interaksi antara islam dan budaya koteka. Tentu saja, ini akan sangat ditolak oleh masyarakat jawa atau lainnya.
Ingatan kita masih sangat segar terkait kasus shalat dengan bahasa jawa, yang diajarkan di Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, Malang. Spontan memancing emosi banyak masyarakat. Jika sampai hal ini diwujudkan, yang terjadi bukan renaisans peradaban Islam, tapi malah mengacaukan masyarakat.
Termasuk ajaran sebagian etnis Sasak, shalat 3 waktu. Apakah bisa disebut islam nusantara? Jika sampai ini dilegalkan, berarti menolak keberadaan 2 shalat sisanya.

Wahyu Menyesuaikan Budaya?

Hingga kini, banyak orang liberal menuduh, bahwa tujuan terbesar dakwah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah untuk arabisasi dunia. Menerapkan hegemoni quraisy di alam raya. Sehingga, ketika ada gerakan dakwah di tengah masyarakat, mereka sebut, arabisasi.
Inti masalahnya, orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya dan ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, menurut orang liberal, itu sedang memasarkan budaya arab.
Kita bisa telusuri, sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu meng-arab-kan islam ataukah meng-islam-kan arab??.
Jika kita menggunakan teori orang liberal, berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-arabkan islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarnai dengan budaya arab.
Anda layak untuk geleng kepala..
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika beliau datang, beliau mengislamkan budaya-budaya itu. Dalam arti, mengarahkan pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.
Kita bisa simak, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah, beliau mengatakan,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
Katahuilah, segala urusan jahiliyah, terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)
Ini salah satu bukti, bagaimana upaya beliau menolak setiap tradisi jahiliyah yang bertentanagn dengan wahyu.
Dari sini kita mendapat pelajaran, bahwa budaya harus menyesuaikan islam. Bukan islam yang menyesuaikan budaya.

Islam Agama Menyeluruh

Islam agama yang unversal. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebarkan islam kepada seluruh umat manusia. Sehingga ajaran islam sedunia adalah sama. Karena sumbernya sama. Ketika ada orang yang memiliki kerangka ajaran yang berbeda, berarti itu bukan islam ajaran beliau.
Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Aku tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Dalam tafsirnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menfsirkan ayat ini, bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiutus untuk seluruh makhluk. Semua yang mukallaf. Baik orang arab maupun luar arab. Yang paling mulia diantara mereka, adalah yang paling taat kepada Allah. (Tafsir Ibn Katsir, 6/518).
Saya kira, tidak ada orang muslim yang ingin tidak dianggap sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam arti khusus, gara-gara dia punya islam yang berbeda dengan islam beliau.

Adat Bisa Menjadi Acuan Hukum

Ada satu kaidah dalam ilmu fiqh,
العادة محكَّمة
“Adat bisa dijadikan acuan hukum.”
Kaidah ini termasuk kaidah besar dalam fiqh (qawaid fiqhiyah kubro). Kaidah ini menjelaskan bahwa adat dan tradisi masyarakat dalam pandangan syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan dengan adat tersebut. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 276).
Hanya saja di sana para ulama fiqh memberikan batasan, ketika adat bertentangan dengan dalil syariat,
Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata adat. Contoh: memuliakan tamu.
Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut,
  1. Adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil. Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
  2. Adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang.
  3. Dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol.
Contoh Penerapan Kaidah
Allah mewajibkan suami untuk menafkahi istri. Tentang ukuran nafkah, dikembalikan kepada keadaan masyarakat, berapa nilai uang nafkah wajar untuk istri.
Islam mewajibkan kita untuk bersikap baik terhadap tetangga. Bagaimana batasan sikap baik itu, dikembalikan kepada standar masyarakat. dst.
Gagasan Islam Nusantara Vs Kaidah Fiqh
Apakah kaidah fiqh ini yang hendak dikembangkan dalam proyek “Islam Nusantara.”?
Dugaan kuat kami, tidak untuk ini. Islam nusantara, bukan dalam rangka memahamkan masyarakat tentang kaidah fiqh di atas.
Karena seperti yang dinyatakan Pak Azra, beliau menyebut islam nusantara sebagai islam yang distingtif, islam unik. Mereka anggap itu gagasan baru dari mereka, bagi muslim Indonesia. Makanya, kita tidak pernah mendengar istilah ini dikobarkan, di masa pemerintahan SBY. Proyek ini baru disemarakkan di masa pemerintahan sekarang.
Padahal kaidah fiqh di atas, bukan sesuatu yang baru. Dan untuk memahamkan kadiah ini, tidak butuh orang liberal. Kaidah ini telah final dibahas para ulama. Jika orang liberal ngaku hendak membumikannya, itu hanya klaim. Mengelabuhi masyarakat abangan untuk memasarkan pemikiran mu’tazilah.
Benar apa yang Allah firmankan, salah satu diantara upaya setan untuk menggoda manusia adalah dengan membisikkan kata-kata indah, untuk menjadi alasan pembenar bagi kesesatan mereka,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap nabi, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, mereka saling membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. al-An’am: 112)
Semoga kita tidak termasuk orang yang tertipu propaganda mereka.
Allahu a’lam
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Skripsi Gagal Terus, Valentina Gantung Diri


alentina Anjuna Pangestika (23) warga Bladongan, Karanggede, Boyolali ditemukan tewas gantung diri di sebuah rumah kos di kampung Pulosari RT 3 RW 4 Kelurahan Gayam, Kecamatan Sukoharjo Kota, Sukoharjo. Diduga mahasiswa disebuah perguruan tinggi swasta di Sukoharjo tersebut nekat mengakhiri hidupnya karena depresi tidak kunjung selesai mengerjakan skripsi.

Kasubag Humas Polres Sukoharjo AKP Joko Sugiyanto, Rabu (17/6/2015) mengatakan, kejadian berlangsung pada Selasa (16/6/2015) sekitar pukul 18.00. Kronologis temuan gantung diri bermula saat Muh Aziz teman satu kos Valentina Anjuna pulang dari kuliah. Di rumah kos Muh Aziz tidak menemukan temanya tersebut di dalam rumah kos.

Selanjutnya Muh Aziz berusaha memanggil dan mencari ke sejumlah ruang di rumah kos. Terakhir menuju ke dapur dan langsung kaget melihat Valentina Anjuna dalam keadaan gantung diri menggunakan sebuah sabuk warna kuning yang diikat di palang besi.



Selanjutnya Muh Aziz menghubungi teman satu kos lainya yang masih kuliah di kampus yakni Rudi Salam. Keduanya kemudian melaporkan kejadian ke polisi yang ada di kantor Satlantas Polres Sukoharjo. Kebetulan posisi lokasi rumah kos tempat gantung diri dengan Satlantas Polres Sukoharjo berdekatan.

Oleh petugas Satlantas kemudian diteruskan ke Polsek Sukoharjo Kota untuk ditindaklanjuti.  Evakuasi kemudian dilakukan dengan menurunkan Valentina Anjuna dan dibawa ke rumah sakit umum daerah (RSUD) Sukoharjo untuk menjalani pemeriksaan.

Hasil pemeriksaan diketahui adanya luka lebam pada bagian leher akibat jeratan sabut yang digunakan untuk gantung diri. Tidak ditemukan tanda penganiayaan.

Dari keterangan sejumlah saksi diketahui Valentina Anjuna merupakan seorang pendiam. Sebelum ditemukan tewas gantung diri sering mengeluh stress karena tidak kunjung selesai mengerjakan skripsi. Bahkan sudah sering mengajukan namun ditolak oleh pihak dosen pembimbing.

“Selanjutnya jasad Valentina Anjuna diserahkan kepada pihak keluarga untuk dimakamkan,” ujarnya. 

Waduk Cengklik Boyolali Dangkal, Muncul Eceng Gondok

Waduk Cengklik di Kecamatan Ngemplak, Boyolali, direncanakan akan dikeruk pada 2016 mendatang. Pengerukan sedimentasi waduk tersebut mesti dilakukan agar daya tampung air waduk meningkat sehingga mampu meminimalisir potensi banjir sebagaimana yang melanda wilayah Boyolali beberapa waktu lalu.


Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Boyolali Agung Supardilalu mengatakan, ia sudah bertemu dan melakukan paparan sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan dan berkurangnya daya tampung Waduk Cengklik kepada Gubernur 
Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Akibat pendangkalan tersebut, air sungai banyak yang tertampung dan meluap sebagaimana banjir yang melanda wilayah Boyolali beberapa waktu lalu.

“Saat ini kondisi waduk sudah kritis akibat sedimentasi yang tinggi, bahkan dipenuhi eceng gondok sehingga mendesak untuk dikeruk,” ujar Agung.

Ditambahkannya, rencana pengerukan waduk yang kewenangannya berada di bawah lalu Pengelola Sumber Daya Air (PSDA) Bengawan Solo Provinsi Jateng tersebut sebenarnya sudah berhembus sejak lama, namun hingga saat ini belum 
terealisasi. 

Dengan paparan dan konsultasi dengan Gubernur, Agung berharap penanganan sedimentasi Waduk Cengklik bisa segera direalisasikan. Pengerukan sedimentasi tersebut dirasanya penting untuk jangka panjang dalam upaya meminimalisir potensi dampak luapan air sungai sebagaimana banjir yang merendam pemukiman warga beberapa waktu lalu.“Semoga saja tahun depan pengerukan sedimentasi waduk bisa terealisasi,” kata Agung

Islam Itu Sudah Sempurna, Tidak Butuh Embel-Embel “Nusantara”

 Dulu di zaman Soekarno, KH. Idham Khalid, saat mendukung Nasakom, mengatakan, bahwa iblis juga ada dalam al-Qur’an. Sehingga, pemimpin NU itu, mendukung gagasan Soekarno tentang NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Soekarno mencampur antara al-haq dan kekufuran.
Sekarang, lahir istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai TOLERANSI dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’ telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia.
Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU.
Dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU,  di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara, Minggu, 14/06/2015.
“Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU,” kata Said Aqil, yang dibalas tepuk tangan ribuan anggota NU yang memadati ruangan dalam Masjid Istiqlal.
Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya “dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras.”

“Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya,” katanya usai acara kepada wartawan di Jakarta, Minggu.
Dari pijakan sejarah itulah, menurutnya, NU akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu “Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran.”
Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”
Ketika awal mula dikampanyekan, muncul dukungan terhadap model Islam Nusantara yang disuarakan kelompok atau tokoh perorangan Islam yang berpaham moderat.
Jokowi  Mendukung Islam Nusantara
Presiden Jokowi saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal,  menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara.Minggu (14/06/2015),
“Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi,” kata Presiden Jokowi.
Selain Presiden Jokowi, suara senada sebelumnya juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, termasuk Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam Indonesia.
Tetapi secara hampir bersamaan lahir pula kritikan dan penolakan terhadap istilah Islam Nusantara, yang diwarnai perdebatan keras terutama melalui media sosial atau dalam diskusi terbuka.
Secara garis besar, penolakan pada istilah Islam Nusantara karena istilah itu seolah-olah mencerminkan bahwa ajaran Islam itu tidak sempurna dan universial. Nanti, ada Islam Brunei, ada Islam Malaysia, ada Islam Amerika, Islam Eropa dan lainnya. Islam yaitu Islam, titik. Tanpa embel-embel.
Dibagian lain,  Hisbuttahrir, melalui jurubicaranya, Ismail Yusyanto, tidak ada perbedaan antara Islam Arab dan Islam Nusantara, tegasnya.
“Resolusi Jihadnya Hasyim Ashari (pendiri NU) di tahun 1945, 1949,itu ‘kan beliau mendapat inspirasi resolusi Jihad ‘kan dari Islam. Dan beliau mengkajinya dari sumber Timur Tengah,” tambah Ismail.

Remaja : Bolehkah Wanita Memakai Pakaian Berwarna Warni?

Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya. 

Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya. Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.



Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:

“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pasa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)

Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.

Riwayat pertama: Warna merah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)

Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ
Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)

Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ
Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)

Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)

Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ

Bahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)

Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.

Riwayat kedua: Warna hijau

Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi ﷺ.

Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah

Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , No. 24748)

Riwayat keempat: motif warna warni

عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ
Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823)

Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam

Berkata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. 

Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan Siria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta) Wallahu a’lam.





Bolehkah Wanita Memakai Pakaian Berwarna Warni

Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya. 

Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya. Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.


Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:

“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pasa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)

Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.

Riwayat pertama: Warna merah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)

Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ
Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)

Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ
Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)

Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
Bahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)

Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ

Bahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)

Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.

Riwayat kedua: Warna hijau

Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi ﷺ.

Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah

Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , No. 24748)

Riwayat keempat: motif warna warni

عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ
Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823)

Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam

Berkata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. 

Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan Siria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta) Wallahu a’lam.