Jumat, 13 Desember 2013

Adakah Kerajaan Wonosegoro?

 
A.      Latar Belakang Penelitian
Masalah pelestarian benda cagar budaya tidak hanya mutlak harus dilakukan oleh pemerintah. Upaya pelestarian juga diharapkan dari partisipasi anggota masyarakat terutama kaum pelajar agar terjadi kesinambungan dalam pengembangan dan pemanfaatan benda cagar budaya tersebut di masa yang akan datang. Sudah saatnya para pelajar menumbuhkan kembali kepekaan dan kemandirian dalam melihat dan mencermati lingkungannya sebagaimana halnya kondisi yang telah mengakar di lingkungannya  pada masa lalu.
Di daerah Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali terdapat sebuah cagar budaya yang sampai saat ini kurang begitu dikenal. Bahkan lokasi ini agak dijauhi warga karena dianggap “wingit”. Namun, jika mau dikaji lebih jauh, lokasi ini sebenarnya menyimpan data-data arkeologis yang penting untuk melacak kembali keberadaan sebuah kerajaan yang bercorak Hindu. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mencoba merekontruksi lokasi kerajaan tersebut berdasarkan artefak yang ada serta wawancara yang dilakukan peneliti terhadap beberapa narasumber.
B.       Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang pemikiran di atas, rumusan penelitian adalah sebagai berikut, ”Apakah cagar budaya yang terletak di Kecamatan Wonosegoro ini merupakan peninggalan sebuah Kerajaan Hindu?”
C.      Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian di cagar budaya Wonosegoro ini adalah untuk mengungkap kebenaran ada tidaknya tinggalan bangunan kuna yang diperkirakan sebuah Kerajaan Hindu.
Adapun manfaat dari penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan kontribusi akademis terkait dengan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bermaksud untuk memperjelas keberadaan cagar budaya ini agar mendapatkan perhatian yang selayaknya dari pihak-pihak yang berwenang.. 
D.      Kajian Pustaka
1.    Pelestarian Benda Cagar Budaya
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya menyatakan bahwa perlindungan benda cagar budaya sebagai salah satu upaya bagi pelestarian warisan budaya bangsa, merupakan usaha untuk memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh jati diri bangsa.
Upaya pelestarian benda cagar budaya tersebut, sangat besar artinya bagi kepentingan pembinaan dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayan bangsa demi kepentingan nasional. Untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, baik mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian, pemeliharaan maupun pemanfaatan benda cagar budaya.
2.    Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Pada Masa Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang periode Jawa Tengah), dinasti yang dikenal adalah wangsa Sanjaya. Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjarakunja di daerah India, dan mendirikan Shivalingga baru yang menunjukkan membangun pusat pemerintahan baru. Candi Prambanan, salah satu peninggalan Wangsa Sanjaya.
Menurut penafsiran atas naskah Carita Parahyangan yang disusun dari zaman kemudian, Sanjaya digambarkan sebagai pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa, raja Galuh ketiga. Sena adalah putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora. Saat Tarusbawa meninggal pada tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan ini sesuai dengan prasasti Canggal. Rakai Panangkaran dikalahkan oleh dinasti pendatang dari Sumatra yang bernama Wangsa Sailendra. Berdasarkan penafsiran atas Prasasti Kalasan (778 M), pada tahun 778 raja Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan. Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya, pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.
3.    Kerajaan Ratu Boko
Kompleks Situs Istana atau Keraton Ratu Boko berada di puncak bukit dengan ketinggian sekitar 196 meter atau tepatnya 195, 97 meter di atas permukaan laut menempati areal seluas 250.000 m2. Keraton Ratu Boko terletak di Bukit Boko, sekitar 19 kilometer ke arah timur dari kota Yogyakarta (menuju ke arah Wonosari), dari arah barat kota Solo sekitar 50 kilometer dan sekitar 3 kilometer dari Candi Prambanan ke arah selatan. Sumber prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran tahun 746-784 Masehi, menyebutkan bahwa Keraton Ratu Boko merupakan Abhayagiri ViharaAbhaya berarti tidak ada bahaya, Giri berarti bukit/ gunung, vihara berarti asrama/ tempat. Dengan demikian Abhayagiri Vihara berarti asrama/ tempat para bhiksu agama Budha yang terletak di atas bukit yang penuh kedamaian atau vihara tempat para Bhiksu mencari kedamaian,tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Pada periode berikutnya tahun sekitar tahun 856 Masehi, kompleksAbhayagiri Vihara tersebut difungsikan sebagai Keraton Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu. Oleh karena itu tidak mengherankan bila unsur agama Hindu dan Buddha tampak bercampur di bangunan ini.
Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan sejarah lainnya. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya, istana atau keraton ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Hal itu terlihat dari adanya sisa bangunan di kompleks ini berupa tiang-tiang pemancang meski kini hanya tinggal batur-batur dari batu andesit, mengindikasikan bahwa dahulu terdapat bangunan yang berdiri di atasnya terbuat dari bahan kayu. Selain itu terdapat pula tanah ngarai yang luas dan subur di sebelah selatan untuk daerah pertanian dan di Bukit Boko terdapat kolam-kolam sebagai tandon penampung air yang berukuran kecil hingga besar. Kompleks bangunan di Bukit Boko disebut sebagai keraton. Hal tersebut disinggung dalam prasasti dan juga karena mirip dengan gambaran sebuah keraton. Kitab kesusasteraan Bharatayudah, Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Bhomakawya, menyebutkan bahwa keraton merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi pagar gapura, di dalamnya terdapat kolam dan sejumlah bangunan lain seperti bangunan pemujaan dan di luar keraton terdapat alun-alun. Dengan demikian kompleks bangunan ini diduga memang merupakan kompleks istana atau keraton.
Tata ruang kompleks Keraton Ratu Boko relatif masih lengkap. Dari pintu gerbang istana menuju ke bagian tengah Bagian depan, yaitu bagian utama, terdapat dua buah gapura tinggi, gapura yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Setelah melewati gapura utama ini, terdapat hamparan rumput luas, yaitu alun-alun.  Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Arah tenggara dari Candi Pembakaran terdapat sumur misteri. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Airnya hingga kini masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan. Ke arah Barat, menyusuri Desa Dawung di lereng bukit, terdapat bekas kompleks keraton yaitu Paseban dan Batur Pendopo. Ke bagian timur istana, terdapat dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Hal yang menarik di Keraton Ratu Boko, selain peninggalan Budha juga ditemukan benda-benda arkeologis peninggalan Hindu seperti lingga, yoni, arca durga, dan ganesha. Meski didirikan oleh seorang Budha, Keraton Ratu Boko merupakan sebuah situs kombinasi antara Budha dan Hindu, ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk yang ada, yang biasanya terdapat pada candi Budha, selain itu terdapat pula tiga candi kecil sebagai elemen dari agama Hindu, dengan adanya Lingga dan Yoni, patung Dewi Durga, dan Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan “Om Rudra ya namah swaha” sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa.
4.        Metodologi Penelitian
Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif. Guna menjawab rumusan masalah,  peneliti membahas permasalahan ini dengan pendekatan kualitatif serta kajian yang bersifat deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan di lapangan, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan terhadap Bapak Didik, Warga Mongkrong  yang berusia 40 tahun sebagai salah satu tokoh yang peduli dengan keberadaan cagar budaya ini.  Data yang ada kemudian dideskripsikan dalam bentuk uraian, pengertian ataupun penjelasan serta hubungan-hubungan.
5.        Hasil Penelitian
1.    Situs Dan Status        
Gambar 1: Lokasi Penemuan Cagar Budaya
a
 
c
 
b
 
f
 
e
 
b
 
d
 
Gambar 2. Lokasi Penemuan artefak(google maps).
Situs Istana Kerajaan Wonosegoro terletak di Dusun Mongkrong, Desa Karangjati, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, tepatnya  1 km di  sebelah barat Kantor Camat Wonosegoro sekarang. Meski situs ini seakan-akan hilang dari kaca mata sejarah namun apabila diamati lebih dekat masih tampak jelas bekas-bekas baik secara geologi maupun artefak yang masih tertinggal sampai saat ini.
Apabila dilihat dari artefak  yang ditinggalkan, situs ini merupakan lokasi istana kerajaan yang bercorak Hindhu, terbukti di sini ditemukan material batu bata yang identik dengan bangunan yang ditemukan di Jawa Timur, lingga yoni sebagai lambang siwa, dan sebagainya.
  1. Artefak           
a.       Batu Lumpang
Batu ini bentuknya beraneka macam, yang pasti di tengah-tengah terdapat lubang yang sengaja dibuat oleh pemahat, yang menurut kitab Pustaka Raja batu ini sebagai tanda makam atau batas istana yang ditemukan tersebar dalam area situs yang luasnya sekitar 1 ha. Sebagai tanda makam, batu lumpang ini terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
a)      Persegi        : merupakan makam Raja.
b)      Segi tiga      : merupakan makam golongan kasta ksatria.
c)      Bebas          : merupakan makam golongan masyarakat waisya’.
d)     Untuk sudra dimakamkan di pemakaman umum.
Terkait dengan batu lumpang ini, terdapat keyakinan yang sampai saat ini dianut para pemburu harta karun, bahwa menurut kitab Pustaka Raja, setiap 20 m arah barat laut tempat penemuan batu lumpang apabila digali terdapat harta karun dalam bentuk logam mulia. Memang dalam ajaran budha apabila seseorang meninggal maka harta yang menjadi miliknya disertakan untuk dikubur.
b.      Lingga Yoni
Pada situs ini masih tertinggal tiga lingga yoni dengan ukuran yang berbeda. Menurut ahli purbakala, ketiga lingga yoni ini memiliki fungsi yang berbeda yaitu :
a)      Ukuran besar: berfungsi untuk legitimasi / pengabsahan raja.
b)      Ukuran sedang : untuk memuja dewa siwa.
c)      Ukuran kecil: untuk memuja dewi kesuburan.( ditemukan di area persawahan ).
c.       Pelataran dan Gerbang Istana
Di sebelah selatan situs ini sangat cocok sekali apabila disebut sebagai pelataran istana, kerena areanya datar dan dikelilingi sungai dan tangga naik menuju pusat situs. Menurut kitab Pustaka Raja, di depan istana terdapat pelataran tempat gladi prajurit dan upacara kenegaraan yang dikelilingi sungai dan di seberang sungai terdapat makam. Hal ini sama persis dengan yang ada di lapangan, bahkan di sebelah timur gerbang masih terdapat pohon palem yang merupakan pohon purba, yang sangat mungkin merupakan bekas taman istana.
d.      Mata Air Kehidupan
Di sebelah barat daya istana terdapat dua mata air/ sendang yang hidup sepanjang tahun tak pernah kering yang merupakan pemandian pada masa itu.
e.       Makam Budha
Situs makam budha ini terletak di seberang sungai depan pelataran dan juga ditemukan 6 km di sebelah barat laut situs, tepatnya di dusun Rincing, desa Gunungsari, Kec. Wonosegoro. Menurut Kitab Pustaka Raja Ciri khas makam Budha ada dua kategori, yaitu :
1)      Membujur arah timur barat     : merupakan makam Raja.
2)      Membujur arah barat laut        : merupakan makam umum.
Dua hal di atas terdapat pada situs ini. Berdasarkan usia artefak yang ditemukan , ternyata situs ini merupakan situs istana kerajaan budha yang kemudian alih fungsi menjadi kerajaan hindhu.
f.       Batu Bunyi
Batu ini jika di tengah siang hari kalau dipegang terdengar suara gemuruh. Tempat ini merupakan situs dimana para pendeta menjalankan ritual samadi untuk mendapatkan kesaktian.
  1. Prediksi
Situs ini sampai sekarang masih dikenal dengan nama “ Punden Nogosari Sewu” atau disebut juga “makam R. Joyolono“. Di tempat ini dulu merupakan tempat seribu tanaman tumbuh sebagai ramuan obat-obatan untuk segala macam penyakit, yang paling terkenal pada saat itu adalah Pohon Nogosari yang memiliki khasiat sangat tinggi dan bukan sembarang orang dapat mengambil. Ternyata kayu ini berat jenisnya melebihi berat jenis air sehingga tenggelam apabila dimasukkan ke dalamnya. Bisa disimpulkan bahwa kerajaan yang ditemukan di Wonosegoro ini mempunyai kesamaan dengan Istana Ratu Boko dikarenakan kemiripan tata letaknya (lihat lampiran 1) dan juga ada hubungan dengan Wangsa Sanjaya maupun Syailendra (lihat lampiran 2)
4.        Penutup
Meski sampai saat ini situs kerajaan wonosegoro masih terputus keterkaitan sejarahnya, namun paling tidak dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada masa hindu budha  di wonosegoro sudah terdapat peradaban yang begitu tinggi terbukti adanya penemuan aneka macam artefak. Namun sayang banyak artefak yang sudah diambil atau dijual oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya ( terbitan ulang 1960 ) Yogyakarta, LKIS.
I Wayan Badrika, 2006, Sejarah Untuk SMA Kelas XI, Erlangga, Jakarta.
S.L. Cardoso. Tt, Kursus B1 Tertulis Sejarah Seni India, Mudul Kuliah.
Fuad Hasan, 1988, Renungan Budaya, BalaiPustaka , Jakarta.
Jakob Sumardjo , 2002, Arkeologi Bidaya Indonesia, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Google Maps, 16 Mei 2012.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar